Meminum Kopi dan Madu Jaya Wijaya Dapat Memberantas Buta Huruf di Papua
Namun faktanya, kasus buta huruf di beberapa daerah di Indonesia masih berlangsung dan menjadi masalah yang cukup serius yang semestinya menjadi tanggung jawab bersama. Kasus buta huruf di Indonesia masih menyentuh angka 4%, yang artinya, dari 271 juta rakyat Indonesia, 10,8 juta warganya masih belum bisa mengenal huruf. Berdasarkan hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Badan Pusat Statistik (BPS) 2019, ada enam provinsi di Indonesia yang memiliki angka buta aksara tinggi. Melansir dari jubi.co.id, Provinsi Papua menempati urutan paling tinggi yaitu sebesar 21,9 persen.
Pulau besar yang kaya akan sumber daya alamnya yang terletak di bagian Timur Indonesia ini memang sudah lama dibiarkan “sederhana”. Seperti penerangan yang seadanya, sinyal yang seperlunya, akomodasi yang langka, hingga fasilitas pendidikan yang “bersahaja”. Tentu hal ini sangat berlawanan dengan kondisi kita, penghuni pulau Jawa yang kehilangan listrik dan penerangan satu jam saja sudah uring-uringan, air mati sehari saja sudah memaki, jalan kaki sedikit saja sudah mengeluh, kehilangan sinyal sebentar saja sudah dibuat viral.
Masalah yang ada tidak akan pernah selesai jika kita hanya membicarakannya, bukan sedikit demi sedikit ikut andil dalam mengatasinya. Terkadang masalah kita adalah minim aksi, namun kaya akan reaksi. Masyarakat kita tahu masalahnya, namun hanya ingin cukup tahu saja. Padahal, orang bilang dunia ini tidak membayar atas apa yang kita ketahui, melainkan apa yang kita lakukan.
***
Saya terperanga, ketika ada salah satu teman saya yang tinggal disana bercerita, ia pernah dimarahi oleh mace (sebutan untuk ibu-ibu di Papua) karena membeli barang dagangannya yang seharga 10 ribu rupiah, namun membayarnya dengan pecahan uang lima ribuan 2 lembar. Mace ini marah dan memaki teman saya karena ia mengira teman saya mencoba untuk menipunya, meski teman saya sudah menjelaskan bahwa nilai uangnya sama. Namun karena tidak mau ada dalam masalah yang berkepanjangan, akhirnya teman saya ini mengalah untuk mencari dan menukar uang sepuluh ribuan disekitar pasar tersebut.
Ya, masalah buta huruf disana sebegitu kompleksnya, bahkan lebih dari itu, kebutaan akan huruf disana juga kerapkali dimanfaatkan oleh oknum-oknum tertentu, seperti oknum pemilik toko sembako, yang dengan curangnya memberi produk makanan tak layak konsumsi, atau mengurangi massa beras yang dibeli. Bahkan lebih parah lagi, sempat tersiar kabar bahwa ada pembelian lahan sebesar Rp. 100.000 per hektar oleh salah satu perusahaan asing yang sempat beredar luas di media. Dari hal ini, bisa kita simpulkan bahwa alam yang kaya, akan percuma jika tidak dibarengi dengan kekayaan sumber daya manusianya.
Lalu, ini salah siapa? Entah lah, jika kita selalu saling menyalahkan maka tidak akan ada habisnya. Perdebatanpun tidak akan ada ujungnya.
Maka, aksi yang mungkin bisa kita lakukan yaitu dengan meminum kopi dan madu dari Jaya Wijaya. Lho? Kok bisa? Bagaimana caranya?
Caranya, kita bisa membeli Kopi, Madu, atau bahkan gelang anyam di @tokomace. Toko Mace ini diciptakan dan dikelola oleh pemilik akun @merawatpapua. Toko Mace ini dibuat sebagai medium masyarakat Papua dalam belajar berusaha.
Madu, kopi greenbean, dan gelang anyam asli Papua |
Kopi dari pegunungan Jaya Wijaya |
Selain memberdayakan masyarakat Papua dalam belajar berusaha dengan memanfaatkan kekayaan alam yang tersedia, keuntungan yang diperoleh dari Toko Mace ini juga digunakan untuk membiayai sekolah anak-anak serta mengupayakan masalah malnutrisi di Papua. Lebih dari itu, sebagian pendapatan juga disisishkan untuk pelestarian hutan. Karena menurut Kak Satrya (pengelola akun @merawatpapua) atau yang biasa disebut paguru sendiri, pembelian hutan Rp. 100.000 tersebut tidak sepenuhnya salah karena memang masyarakat Papua sendiri tidak tahu bagaimana cara mengelola hutan agar bisa menghasilkan, maka dari itu, paguru ingin mengedukasi masyarakat dengan menanami hutan tersebut dengan pohon kopi agar bisa menghasilkan uang.
Dengan hadirnya Toko Mace sangat memudahkan kita untuk memberi sumbangsih dan andil dalam memajukan saudara kita sendiri yang masih terbelakang di seberang sana. Tanpa menyita banyak waktu dan biaya, kita bisa mengulurkan tangan kita langsung kepada penerima manfaatnya. Karena di era globalisasi seperti saat ini, ruang dan waktu bukan lagi hambatan untuk segala sesuatu yang kita niatkan.
Situasi anak-anak sedang belajar |
Disisi lain, dengan pembelian produk apapun dari Toko Mace juga merupakan sebuah aksi untuk negeri, yang diwujudkan dengan sustainable development atau pembangunan yang berkelanjutan melalui pendidikan karena kita tidak lupa, bahwa ilmu dan pendidikan bersifat abadi. Dan tidak lupa bahwa pendidikan yang ditempuh oleh beberapa anak Papua yang di perguruan tinggi yaitu ilmu keperawatan (ini bertujuan karena fasilitas kesehatan di pedalaman sangat minim), dimana jika kita membantu mereka dalam pendidikannya, maka secara tidak langsung kita juga membantu masyarakat pedalaman Papua memperbaiki fasilitas kesehatannya sendiri.
Seperti yang sudah disebutkan diatas, pemilik sekaligus pengelola Toko Mace sendiri juga adalah paguru. Menariknya, paguru ini telah mengajari anak-anak Papua benar-benar dari 0, yaitu dari memakai baju, merawat kebersihan diri dengan mandi dan menggosok gigi, makan dengan sopan, membaca, menulis hingga berbuah manis sehingga mencetak tentara pertama dari Kabupaten Asmat, menyekolahkan 3 perawat di perguruan tinggi, dan juga menyekolahkan beberapa anak di berbagai jenjang pendidikan formal.
Kutene, tentara pertama dari Kabupaten Asmat |
Untuk mengubah sebuah kebiasaan saja menurut saya sudah sangat sulit, apalagi mengubah suatu pola pikir, ekspetasi, hingga mengubah perilaku seseorang sampai memiliki keinginan untuk maju dan berkembang, terlebih masyarakat di pedalaman. Maka dari itu @tokomace sangat layak untuk terus maju, dan sangat pantas untuk mendapatkan panggung dan dukungan dari kita semua, saudara setanah airnya.
Dengan pembelian produk apapun dari @tokomace, kita dapat merasakan berlapis keuntungan dan manfaat, yang pertama kita dapat merasakan hasil alam negeri kita yang jauh disana. Kedua, kita dapat memiliki barang yang dibuat oleh saudara kita sendiri yang sedang berproses dalam merajut asa. Ketiga, kita ikut andil dalam mendukung kemajuan pendidikan anak-anak Papua. Keempat, kita berpartisipasi dalam memerangi gizi buruk anak-anak diseberang sana. Kelima, kita telah mendukung pelestarian hutan Papua. Dan yang terakhir, kita menjadikan dan memanifestasikan diri kita sendiri sebagai manusia, yang ditugaskan Tuhan untuk menjadi manfaat bagi mahluk hidup, alam, dan tentunya sesama manusia lainnya.
Tidak lupa, salah satu orang yang mengurus @tokomace juga merupakan anak Papua asli yang sedang bersekolah keperawatan di Jogjakarta, namanya Deni. Saya bersyukur dan merasa sangat bahagia ketika melihat tulisan anak Papua secara langsung yang telah berproses sebegitu panjangnya untuk bisa sampai ke titik ini, dari tidak tahu menahu tentang tulisan, tidak pernah pergi keluar dari pedalaman, juga sempat minder sekolah di Jawa hingga ingin pulang, sampai bisa mengelola bisnis @tokomace. Bukankah hal tersebut sungguh merupakan proses yang luar biasa?
Teman-teman juga jangan khawatir, karena dengan belanja di @tokomace teman-teman tidak dikenai ongkos kirim dari Asmat sana, karena paguru tahu harga ongkir perkilonya saja sudah melebihi harga setoples madu @tokomace. Teman-teman cukup membayar ongkos kirim dari Jogjakarta saja, dan menunggu paketan dengan duduk atau rebahan manis dirumah. Packaging yang dibuat juga sungguh menarik dan menyentuh sanubari penerimanya.
Packaging wristband #SAVEPAPUA |
Packaging Kopi Wamena Gold |
Saya juga sangat mengapresiasi Deni, anak Papua yang menjadi pengurus @tokomace ini juga sangat sigap dalam membalas chat dan mengirim paket yang dipesan, setiap kali saya pesan, dihari yang sama pula Deni kirim barang dagangannya ke ekspedisi agar cepat diterima oleh tangan-tangan yang murah hati. Jadi teman-teman, happy shopping! ❤
Good Work Sonya.., come check out mine
ReplyDelete